Jumat, 22 April 2011

Hukum Memperingati Maulid Nabi

حكم الاحتفال بالمولد النبوي
 باللغة الإندونيسية 

Karya :
SYEIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL UTSAIMIN

Penerjemah :
Fir'adi Nasruddin, Lc.

Murajaah :
Zulfi Askar. Lc
Eko Abu Ziyad

Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah
المكتبالتعاوني للدعوة وتوعيةالجالياتبالربوة بمدينةالرياض
1428 – 2007


Hukum Memperingati Maulid Nabi
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah –semoga Allah membalas jerih
payahnya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan- , beliau pernah ditanya
tentang hukumnya memperingati maulid Nabi r ?
Maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah menjawab:
1. Malam kelahiran Rasulullah r tidak diketahui secara qath'i (pasti), bahkan sebagian ulama
kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasannya ia terjadi pada malam ke 9
(sembilan) Rabi'ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua belas). Jika demikian maka peringatan
maulid Nabi Muhammad r yang biasa diperingati pada malam ke 12 (dua belas) Rabi'ul Awwal
tidak ada dasarnya, bila dilihat dari sisi sejarahnya.
2. Di lihat dari sisi syar'i, maka peringatan maulid Nabi r juga tidak ada dasarnya. Jika sekiranya acara
peringatan maulid Nabi r disyari'atkan dalam agama kita, maka pastilah acara maulid ini telah di
adakan oleh Nabi r atau sudah barang tentu telah beliau anjurkan kepada ummatnya. Dan jika
sekiranya telah beliau laksanakan atau telah beliau anjurkan kepada ummatnya, niscaya ajarannya
tetap terpelihara hingga hari ini, karena Allah ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
(Q.S; Al Hijr : 9 .)
Dikarenakan acara peringatan maulid Nabi r tidak terbukti ajarannya hingga sekarang ini, maka
jelaslah bahwa ia bukan termasuk dari ajaran agama. Dan jika ia bukan termasuk dari ajaran agama,
berarti kita tidak diperbolehkan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya
dengan acara peringatan maulid Nabi r tersebut.
Allah telah menentukan jalan yang harus ditempuh agar dapat sampai kepada-Nya, yaitu jalan
yang telah dilalui oleh Rasulullah r, maka bagaimana mungkin kita sebagai seorang hamba menempuh
jalan lain dari jalan Allah, agar kita bisa sampai kepada Allah?. Hal ini jelas merupakan bentuk
pelanggaran terhadap hak Allah, karena kita telah membuat syari'at baru pada agama-Nya yang tidak ada
perintah dari-Nya. Dan ini pun termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta'ala :
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku
dan telah Ku-ridha'i islam itu jadi agama bagimu". (Q.S; Al-Maidah : 3.)
Maka kita perjelas lagi, jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi r termasuk bagian dari
kesempurnaan dien (agama), niscaya ia telah dirayakan sebelum Rasulullah r meninggal dunia. Dan jika
ia bukan bagian dari kesempurnaan dien (agama), maka berarti ia bukan dari ajaran agama, karena Allah
ta'ala berfirman: "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu".
Maka barang siapa yang menganggap bahwa ia termasuk bagian dari kesempurnaan dien
(agama), berarti ia telah membuat perkara baru dalam agama (bid'ah) sesudah wafatnya Rasulullah r,
dan pada perkataannya terkandung pendustaan terhadap ayat Allah yang mulia ini (Q.S; Al-Maidah : 3) .
Maka tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang mengadakan acara peringatan maulid Nabi
r, pada hakekatnya bertujuan untuk memuliakan (mengagungkan) dan mengungkapkan kecintaan
terhadap Rasulullah SAW, serta menumbuhkan ghirah (semangat) dalam beribadah yang di peroleh
dari acara peringatan maulid Nabi tersebut. Dan ini semua termasuk dari ibadah. Cinta kepada
Rasulullah r termasuk ibadah, dimana keimanan seseorang tidaklah sempurna hingga ia mencintai Nabi
r melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri, anak-anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia.
Demikian pula bahwa memuliakan (mengagungkan) Rasulullah r termasuk dari ibadah. Dan juga yang
termasuk kedalam kategori ibadah adalah menumbuhkan ghirah (semangat) dalam mengamalkan syari'at
Nabinya r.
Kesimpulannya adalah bahwa mengadakan peringatan maulid Nabi r dengan tujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah ta'ala, dan pengagungan terhadap Rasulullah r termasuk dari ibadah.
Jika ia termasuk ibadah maka kita tidak diperbolehkan untuk mengadakan perkara baru pada agama
Allah (bid'ah) yang bukan syari'at-Nya. Oleh karena itu peringatan maulid Nabi r termasuk bid'ah
dalam agama dan termasuk yang diharamkan.
Kemudian kita mendengar informasi bahwasannya pada acara peringatan maulid Nabi r
terdapat kemunkaran-kemunkaran yang besar, yang tidak dibenarkan syar'i, indera maupun akal.
Dimana mereka mensenandungkan qashidah yang didalamnya mengandung pengkultusan terhadap
Nabi r, hingga terjadi pengagungan yang melebihi pengagungannya kepada Allah ta'ala –kita
berlindung kepada Allah dari hal ini-.
Dan juga kita mendengar informasi tentang kebodohan sebagian orang yang mengikuti acara
peringatan maulid Nabi tersebut , dimana ketika dibacakan kisah maulid (kelahiran) beliau, lalu ketika
sampai pada perkataan (dan lahirlah Musthafa r), maka mereka semua serentak berdiri. Mereka
mengatakan bahwa ruh Rasulullah r telah datang, maka kami berdiri sebagai penghormatan terhadap
kedatangan ruhnya. Dan ini jelas suatu kebodohan.
Dan bukan merupakan adab bila mereka berdiri untuk menghormati kedatangan ruh Nabi r,
karena Rasulullah r merasa enggan (tidak senang) apabila ada sahabat yang berdiri untuk
3
menghormatinya. Padahal kecintaan dan pengagungan para sahabat terhadap Rasulullah r melebihi
yang lainnya, akan tetapi mereka tidak berdiri untuk memuliakan dan mengagungkannya, ketika mereka
melihat keengganan Rasulullah r dengan perbuatan tersebut. Jika hal ini tidak mereka lakukan pada saat
Rasulullah r masih hidup, lalu bagaimana hal tersebut bisa dilakukan oleh manusia setelah beliau
meninggal dunia?.
Bid'ah ini, maksudnya adalah bid'ah maulid, terjadi setelah berlalunya 3 (tiga) kurun waktu yang
terbaik (masa sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in). sesungguhnya Peringatan maulid Nabi r telah
menodai kesucian aqidah dan juga mengundang terjadinya ikhtilath (bercampur-baurnya antara laki-laki
dan wanita) serta menimbulkan perkara-perkara munkar yang lainnya.

Rujukan: Majmu' Fatawa dan Rasail Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah jilid2
hal 298-300.
»»  Baca Selengkapnya...

hukum penggunaan Kawat Gigi

behel-2
Hukum memakai kawat gigi
From:bayu widyarman <avidya_phobia@ yahoo.com>
Date:Sat May 10, 2008 8:05 am
assalamualaikum
apa hukum memakai kawat gigi untuk orang2 yang mungkin berkeinginan untuk merapikan giginya?? dan terkadang dokter gigi tersebut harus mengikir permukaan gigi terlebih dahulu..
syukro atas jawaban antum sekalian..
wassalamualaikum
Perubahan yang dilaknat adalah perubahan untuk memperindah dan mempercantik
diri. Tapi, jika perubahan tersebut untuk menolak kemudharatan (karena
alasan kesehatan) maka hal ini tidak apa-apa untuk dilakukan.
berikut saya kutipkan dari fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
http://www.almanhaj .or.id/content/ 1776/slash/ 0
HUKUM MENGIKIR GIGI
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
http://www.almanhaj .or.id/content/ 85/slash/ 0
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Hukum mengikir gigi
Jawaban
Perbuatan ini diharamkan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Para wanita yang mengikir gigi untuk berhias dan yang merubah ciptaan Allah”
Mengikir gigi merupakan perbuatan yang merubah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyibukkan diri dengan perbuatan sia-sia yang tidak ada manfaatnya, dan hanya membuang-buang waktu yang seharusnya dipergunakan untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat bagi manusia. Perbuatan tersebut juga merupakan penipuan dan penggelapan serta menunjukkan kerdilnya manusia.
[Zinatul Mar’ah, hal. 84]
HUKUM MEGIKIR GIGI UNTUK KEINDAHAN
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Hukum wanita yang mengikir giginya untuk keindahan, dengan cara mendinginkan gigi-giginya dengan pendingin, lalu membuat jarak antara gigi-giginya, hal itu dilakukannya untuk menambah keindahan.
Jawaban
Diharamkan bagi wanita muslim untuk mengikir gigi-giginya dengan tujuan memperindah diri, dengan cara mendinginkan gigi-giginya dengan pendingin sehingga tampak merenggang jarak antara gigi-giginya supaya kelihatan cantik. Namun apabila terdapat kotoran pada gigi-giginya yang mengharuskannya mengubahnya, dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran tersebut, atau karena terdapat ketidaknyamanan yang mengharuskannya untuk memperbaikinya dengan tujuan untuk menghilangkan ketidaknyamanan tersebut, maka perbuatan tersebut tidak mengapa, karena hal itu termasuk dalam berobat dan membuang kotoran, yang hanya bisa dilakukan oleh daokter spesialis.
[Tanbihat “ala Ahkamin Takhushshu bil Mu’minat, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal 11]
HUKUM MENGIKIR GIGI UNTUK TUJUAN PENGOBATAN
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Hukum mengikir gigi untuk pengobatan dan menghilangkan kekurangan
Jawaban
Mengubah gigi untuk tujuan memperindahnya dan untuk menampakkan ketajamannya adalah perbuatan haram. Namun apabila untuk tujuan pengobatan, maka tidak mengapa. Jika tumbuh gigi pada wanita yang menyusahkannya, maka diperbolehkan untuk mencabutnya karena gigi tersebut merusak pemandangan dan menyulitkannya dalam makan, sedangkan membuang aib (kekurangan) diperbolehkan menurut syari’at. Demikian pula apabila terdapat kelainan yang memerlukan pengobatan, maka diperbolehkan.
[Ziantul Mar’ah, Syaikh Abdullah Al-Fauzan hal. 85]
MELURUSKAN GIGI DAN MENDEKATKAN ANTARA GIGI-GIGI
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Bolehkah meluruskan gigi dan mendekatkan antara gigi-gigi hingga tidak tampak terpisah-pisah?
Jawaban
Bila memang diperlukan, misalnya ada kelainan yang harus diperbaiki, maka hukumnya diperbolehkan.
Namun apabila tidak diperlukan, maka hukumnya tidak boleh. Bahkan terdapat larangan untuk mengubah gigi dan mengikirnya untuk keindahan, beserta ancaman bagi pelakunya, karena perbuatan tersebut termasuk sia-sia dan mengubah ciptaan Allah.
Jika hal itu untuk pengobatan atau untuk membuang kelainan,atau untuk kebutuhan, misalnya seseorang tidak bisa makan dengan baik kecuali dengan mngubah gigi-giginya, maka hal tersebut diperbolehkan.
[Kitabul Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan, Juz 7, hal. 3223-324]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Maratil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsuddin, Penerbit Darul Haq]
»»  Baca Selengkapnya...

Senin, 18 April 2011

WANITA BERHIAS UNTUK SUAMINYA

Seorang wanita hendaknya menjaga penampilan dan keadaan fisiknya agar terlihat menarik bagi suaminya. Jika dia berhias untuk diperlihatkan pada laki-laki selain suami atau mahramnya, maka dia telah melakukan perbuatan orang-orang jahiliyyah yang dicela dalam Al-Qur’an :

وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى)  الأحزاب :33)

... dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu..” (Q.S al-Ahzaab :33)


            Demikian juga seorang calon pengantin, memang disunnahkan untuk memperbaiki penampilannya supaya nampak menarik di hadapan suaminya. Upaya berhias tersebut hendaknya sesuai dengan batasan-batasan syar’i. Ada beberapa larangan yang disebutkan dalam hadits Nabi :

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالنَّامِصَاتِ

وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ

لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ   ( رواه مسلم)

“ Dari Abdullah beliau berkata : Allah melaknat wanita yang mentato dan minta ditato, wanita yang mencabut bulu wajah (alis, dan yang terletak di dahi) dan wanita yang minta dicabut bulu wajahnya, dan orang yang merenggangkan giginya untuk berhias, yaitu orang-orang yang merubah ciptaan Allah”(H.R Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ َالْمُسْتَوْصِلَةَ

وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ (رواه البخاري)

“ Dari Abu Hurairah – semoga Allah meridlainya – dari Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta rambutnya disambungkan, dan wanita yang mentato dan yang minta ditato” (H.R al-Bukhari)

عَنْ مُعَاوِيَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَدْخَلَتْ

فِي شَعَرِهَا

مِنْ شَعَرِ غَيْرِهَا فَإِنَّمَا تُدْخِلُهُ زُورًا (رواه أحمد)

“ Dari Mu’awiyah beliau berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : siapa saja di antara wanita yang memasukkan rambut lain pada rambutnya, maka sesungguhnya dia telah memasukkannya secara dusta (batil)(H.R Ahmad dishahihkan oleh Syaikh AlAlbaany dalam as-Shahihaah)

            Jangan sampai seorang wanita mengenakan wewangian sehingga tercium baunya oleh pria lain yang bukan mahramnya.

عَنْ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ

فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ

لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ   (رواه أبو داود الترمذي والنسائي)

“ Dari al-‘Asy’ari beliau berkata : saya mendengar Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : Siapa saja di antara wanita yang memakai wewangian kemudian melewati suatu kaum supaya tercium wewangian itu, maka dia adalah pezina”(H.R Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan AnNasaa-i, dihasankan oleh Syaikh al-Albaany).

            Semoga nasehat ini bermanfaat....
»»  Baca Selengkapnya...

MEMAHAMI MAKNA BACAAN AL FATIHAH

Pada saat membaca AlFatihah inilah sebenarnya esensi dari dialog dengan Allah. Karena disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi bahwa setiap ayat yang dibaca seseorang dari AlFatihah mendapat jawaban langsung dari Allah, sehingga terjadi dialog antara hamba dengan Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi tersebut :

قَسَمْتُ الصَّلاَةَ  بَيْنِيْ وَبَيْنَ عَبْدِيْ نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ قَالَ اللهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي َوقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ قَالَ هذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيِْم صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُْوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ قَالَ هذا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ  

“ Aku membagi AsSholaah (AlFatihah) antara Aku dengan hambaKu menjadi 2 bagian dan bagi hambaKu ia mendapatkan yang ia minta. Jika seorang hamba mengucap :

  
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ Allah berfirman : ‘ HambaKu telah memujiKu’. Jika seorang hamba mengucapkan :  الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ Allah berfirman : ‘ HambaKu telah memujiKu. Jika hambaKu mengucapkan : مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ , Allah berfirman : ‘HambaKu telah mengagungkan Aku ’,  dan kemudian  Ia berkata selanjutnya : “HambaKu telah menyerahkan (urusannya) padaKu. Jika seorang hamba mengatakan :   إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ  , Allah menjawab : Ini adalah antara diriKu dan hambaKu, hambaKu akan mendapatkan yang ia minta. Jika seorang hamba mengatakan :

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيِْم صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُْوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ    

Allah menjawab : Ini adalah untuk hambaKu, dan baginya apa yang ia minta (H.R Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dalam Shohihnya, AtTirmidzi dalam Sunannya)
Allah menjawab ucapan seseorang dengan kalimat : “hambaKu telah memujiKu” pada saat diucapkan الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ dan الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِDua kalimat tersebut mengandung pujian bagi Allah, namun ada sedikit perbedaan. Pada kalimat yang pertama : الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ ( segala puji bagi Allahpujian bagi Allah karena kebaikan perbuatan, sedangkan pada kalimat yang kedua : الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang) selain mengandung pujian karena kebaikan perbuatan juga karena kesempurnaan SifatNya 25
Para Ulama’ berbeda pendapat tentang apakah basmalah termasuk dalam surat Al Fatihah atau tidak. Hal yang menjadi kesepakatan adalah bahwa basmalah (bismillaahirrohmaanirohiim) merupakan bagian dari salah satu ayat surat AnNaml, yaitu ketika Nabi Sulaiman mengirim surat pada Ratu Balqis, di dalamnya terkandung basmalah. Hal ini terdapat dalam Surat AnNaml ayat 30 :

إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ


Artinya : “ Dan sesungguhnya (surat itu) berasal dari Sulaiman dan sesungguhnya (terdapat tulisan) Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa basmalah hanyalah merupakan bagian permulaan tiap surat sebagai pemisah antar surat, kecuali surat AtTaubah. Dalil yang menunjukkan bahwa ia merupakan pemisah antar surat adalah hadits :

 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ  عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيِْه وَسَلَّمَ كَانَ لاَ  يَعْرِفُ فَصْلَ  السُّوْرَةِ حَتَّى يُنْزَلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dari Ibnu Abbas – Radliyallaahu ‘anhuma – bahwasanya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya tidak mengetahui pemisah antar surat (dalam AlQuran) sampai (Allah) turunkan atas beliau ‘bismillaahirrohmaanirrohiim’ (H.R Abu Dawud dalam Sunannya, dan Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya bahwa sanad hadits ini shohih)  
          Hadits Qudsi tersebut di atas juga dijadikan dalil oleh para Ulama’ yang berpendapat bahwa bacaan basmalah (bismillaahirrohmaanirrohiim) bukanlah termasuk dari AlFatihah. Nampak dari hadits qudsi di atas bahwa permulaan bacaan tersebut (dialog antara pembaca AlFatihah dengan Allah) adalah: الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَbukan dimulai dengan basmalah.
          Namun, walaupun seandainya kita mengikuti pendapat ulama’ yang menyatakan bahwa basmalah bukan termasuk AlFatihah, dalam sholat sebelum membacanya tetap kita baca basmalah, karena Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam juga membaca basmalah dalam sholat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nu’aim al-Mujmiri ketika menerangkan sholat Abu Hurairah :

صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ اْلقُرْآنِ حَتَّى بَلَغَ وَلاَ الضَّالِّيْنَ فَقَالَ امِيْن وَقَالَ النَّاسُ امِيْن وَيَقُوْلُ كُلَّمَا سَجَدَ اللهُ أَكْبَر فَإِذَا قَامَ مِنَ اْلجُلُوْسِ قَالَ اللهُ أَكْبَر وَيَقُوْلُ إِذَا سَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي َلأَشْبَهَكُمْ صَلاَةً بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ   

“Aku sholat di belakang Abu Hurairah – semoga Allah meridlainya- dia membaca bismillaahirrohmaanirrohiim kemudian membaca Ummul Qur’an (AlFatihah) sampai pada bacaan :  وَلاَ الضَّالِّيْنَ , kemudian mengucapkan : Aamiin, orang-orang (makmum) juga mengucapkan : Aamiin, kemudian setiap akan sujud membaca : Allaahu akbar, ketika bangkit dari duduk membaca : Allaahu akbar, dan ketika selesai salam beliau berkata : “ Demi Dzat Yang jiwaku berada di TanganNya, sesungguhnya aku paling menyerupai sholatnya dengan Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam dibandingkan kalian “ (H.R AnNasaa’I dan Ibnu Khuzaimah) 
 Rincian Makna :

Ø   بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

بِسْمِ اللهِ  =     Dengan Nama Allah

الرَّحْمنِ =   Yang Maha Pengasih

الرَّحِيْمِ     =   Yang Maha Penyayang

Ø   الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
الْحَمْدُ = Segala pujian
ِللهِ = untuk Allah
رَبِّ =Tuhan (Pencipta, Penguasa, Pengatur)
اْلعَالَمِيْنَ =         seluruh alam semesta
         
Segala pujian hanyalah milik Allah dan hanya pantas dikembalikan kepada Allah, Pemilik segala Sifat kesempurnaan. Allah terpuji pada seluruh Sifat dan seluruh perbuatanNya. IA dipuji dalam segenap keadaan.  Sebagaimana Rasululullah senantiasa memuji Allah baik dalam keadaan gembira atau susah. Disebutkan dalam hadits :

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ اْلمُؤْمِنِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ اْلأَمْرُ يَسُرُّهُ قَالَ اْلحَمْدُ ِللهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ وَإِذَا أَتَاهُ اْلأَمْرُ يَكْرَهُهُ قَالَ اْلحَمْدُ ِللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

“ Dari ‘Aisyah Ummul Mu’minin – semoga Allah meridlai beliau – beliau berkata : Adalah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam jika ditimpa keadaan yang menyenangkan, beliau berkata : اْلحَمْدُ ِللهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتِ (Segala puji bagi Allah yang dengan kenikmatan (dari)Nya kebaikan-kebaikan menjadi sempurna). Sedangkan jika beliau ditimpa sesuatu yang tidak disenanginya, beliau mengucapkan : اْلحَمْدُ ِللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ (Segala puji bagi Allah dalam segenap keadaan)”(H.R Al-Hakim dalam Al-Mustadraknya dan  Ibnu Majah dalam Sunannya).
          Allah dipuji dalam seluruh tahapan kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana dalam FirmanNya :

وَهُوَ اللهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ لَهُ اْلحَمْدُ فِي اْلأُوْلَى وَاْلآخِرَةِ وَلَهُ اْلحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

“ Dan Dialah Allah Yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, bagiNya pujian di dunia dan di akhirat, dan hanya milikNyalah keputusan hukum, dan kepadaNya kalian semua akan dikembalikan “(Q.S Al-Qoshos : 70)
          Allah adalah : رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ , yaitu Pencipta, Penguasa, dan Pengatur bagi seluruh semesta alam, segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit serta di antara keduanya, di masa dulu, saat ini, dan untuk keseluruhan waktu. Sebagaimana juga Allah berfirman dalam ayat yang lain ketika menceritakan percakapan antara Fir’aun dan Nabi Musa :
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ اْلعَالَمِيْنَ . قَالَ رَبُّ السَّموَاتِ وَاْلأَرْضِ وَ مَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوْقِنِيْنَ
“ Berkata Fir’aun : Apakah رَبُّ اْلعَالَمِيْنَ itu? (Musa) berkata : Tuhan seluruh langit-langit dan bumi dan yang ada di antara keduanya, jika kalian memang meyakininya “(Q.S Asy-Syu’araa : 23)
Ø   الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ   
          Kata الرَّحْمنِ dan الرَّحِيْمِ dalam bahasa Indonesia sering diartikan : Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Terjemahan ini tidaklah salah, karena memang dalam bahasa Arab keduanya memiliki makna : ذُوالرَّحْمَة (Yang Memiliki Sifat ‘rahmat’). Sifat ‘rahmat’ tersebut bisa diartikan kasih sayang sehingga penggunaan ‘Maha Pengasih’ sinonim dengan ‘Maha Penyayang’. Namun, sebenarnya di dalam dua kata ini terkandung makna yang lebih khusus, mendalam, dan memiliki karakteristik masing-masing.
Dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin bahwa : الرَّحْمنِ artinya adalah ‘Yang Memiliki rahmat yang luas’, sedangkan الرَّحِيْمِ adalah ‘Yang Mampu menjadikan rahmat / kasih sayangNya sampai/ menjangkau hambaNya’. Sebagian ulama’ menyatakan bahwa :الرَّحْمنِ artinya Allah memiliki rahmat yang berlaku umum untuk seluruh makhluk tanpa terkecuali, sedangkan الرَّحِيْم artinya Allah memiliki rahmat yang diberikan khusus bagi orang yang beriman saja. Namun, pendapat ini terbantahkan dengan surat AlHajj ayat 65 :
إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْم
“Sesungguhnya Allah terhadap manusia adalah sangat pengasih lagi penyayang “(Q.S AlHajj : 65)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan NamaNya dalam bentuk : رَحِيْم  untuk menyebutkan kasih sayangNya pada seluruh manusia secara umum, bukan hanya orang yang beriman saja. Sehingga penafsiran yang lebih tepat untuk dua Nama Allah tersebut adalah seperti yang dijelaskan oleh Syaikh al-Utsaimin di atas.
Allah memiliki sifat rahmat yang luas, yang meliputi segala sesuatu sebagaimana dalam firmanNya :
وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“ Dan rahmatKu meliputi segala sesuatu” (Q.S Al-A’raaf : 156)
Allah Subhaanahu WaTa’ala adalah Yang Paling bersifat rahmat/ kasih sayang di antara segala sesuatu yang memiliki kasih sayang (rahmat). Jika seluruh kasih sayang makhluk dikumpulkan, sedikitpun tidak bisa mendekati besarnya kasih sayang (rahmat) Allah. Sebagaimana disebutkan dalam firmanNya :

فَاللهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَّهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ

“ Maka Allah adalah sebaik-baik penjaga dan Dia adalah Yang paling Penyayang di antara seluruh penyayang “ (Q.S Yusuf :64)
Kasih sayang Allah kepada hambaNya sangat besar dan melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anak yang sangat dicintainya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Al-Bukhari-Muslim ketika datang salah seorang wanita sedang mencari-cari anaknya di hadapan Rasul dan para Sahabatnya,  setelah terus berupaya mencari akhirnya ia berhasil menemukan anaknya. Didekapnya anak tersebut dengan begitu erat dan penuh kasih sayang seakan-akan tidak akan dilepaskannya lagi selama-lamanya. Ketika menyaksikan hal itu Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أَتَرَوْنَ هذِهِ طَارِحَةٌ وَلَدَهَا فِي النَّارِ قُلْنَا لاَ وَهِي تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاََ تَطْرَحَهُ فَقَالَ   َللهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هذِهِ بِوَلَدِهَا (رواه البخاري و مسلم )

“ Apakah kalian menyangka wanita itu (tega) melemparkan anaknya ke api ? Para Sahabat menjawab : Tidak akan, jika dia memiliki kemampuan untuk tidak melemparkannya. Rasul bersabda : “Sungguh-sungguh Allah jauh lebih sayang kepada hamba-hambaNya dibandingkan kasih sayang wanita itu kepada anaknya”(H.R Al-Bukhari-Muslim)
Dengan kasih sayangNya pula Allah mengampuni orang-orang berdosa yang mohon ampunanNya dengan sebenar-benarnya taubat. Sebagaimana disebutkan dalam ayatNya :

كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوْءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُوْرٌ رَّحِيم

“ Dialah Allah Yang Mewajibkan bagi DiriNya Sendiri untuk bersikap rahmat. Barangsiapa di antara kalian yang beramal keburukan dengan kejahilan kemudian bertaubat setelahnya dan berbuat baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “(Q.S Al-An’aam : 54)

 AsySyaikh Muhammad Ibn Sholih al-Utsaimin menjelaskan makna ayat ini : “Tidaklah Allah menutup ayat dengan kalimat ini kecuali orang-orang yang bertaubat akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Ini adalah termasuk rahmatNya yang Ia wajibkan untuk DiriNya sendiri. Padahal sebenarnya sudah merupakan keadilan kalau seseorang berdosa diadzab sesuai dengan dosanya, dan dibalas sesuai dengan perbuatan baiknya. (Misalkan), kalau seandainya seseorang melakukan perbuatan dosa selama 50  hari, kemudian bertaubat dan berbuat baik 50 hari, sudah termasuk adil kalau seandainya Allah mengadzabnya untuk yang 50 hari dan memberinya pahala untuk yang 50 hari. Tetapi Allah Azza Wa Jalla mewajibkan DiriNya sendiri untuk bersikap rahmat. (Maka dengan itu) seluruh dosa yang dilakukan selama 50 hari bisa dihilangkan hanya sesaat (dengan taubat). Kemudian Allah tambah :

فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ (الفرقان :70)

“ Maka mereka itu adalah orang-orang yang Allah ganti keburukan-keburukannya dengan kebaikan – kebaikan “(Q.S AlFurqon : 70)
Seluruh keburukan-keburukan sebelumnya menjadi kebaikan-kebaikan, karena setiap kebaikan tersebut adalah taubat dan setiap taubat akan mendapatkan pahala 27
          Sungguh kita sangat mengharapkan rahmat Allah. Kita sangat butuh pada rahmatNya melampaui segala sesuatu. Kita tidak bisa mengandalkan amalan-amalan kita semata tanpa rahmat Allah untuk mencapai kenikmatan hakiki yang Allah sediakan bagi hamba-hambaNya yang beriman. Sebagaimana Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

فَإِنَّهُ لَنْ يُدْخِلَ اْلجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ مِنْْهُ بِرَحْمَةٍ وَاعْلَمُوْا أَنَّ أَحَبَّ اْلعَمَلِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“ Sesungguhnya tidak ada amalan seseorangpun yang bisa memasukkan seseorang ke dalam surga. Para Sahabat bertanya : ‘Apakah termasuk anda juga wahai Rasulullah?’ Rasul menjawab: Tidak juga saya, kecuali Allah telah melimpahkan rahmatNya padaku. Ketahuilah bahwasanya amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling istiqomah walaupun sedikit “(H.R AlBukhari-Muslim, lafadz hadits Muslim)
          Benar, kita tidak bisa mengandalkan amalan kita semata untuk masuk surga. Kita membutuhkan rahmat Allah.
          Jika ada pertanyaan, bagaimana dengan ayat-ayat dalam AlQuran yang menjelaskan bahwa seorang masuk surga disebabkan oleh amalannya. Seperti dalam firman Allah :

وَتِلْكَ اْلجَنَّةُ الَّتِي أُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“ Dan itu adalah surga yang diwariskan kepada kalian disebabkan apa yang kalian amalkan “(Q.S AzZukhruf : 72)
dan firman Allah :

سَلاَمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا اْلجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“ Keselamatan atas kalian, masuklah ke dalam surga disebabkan apa – apa yang kalian amalkan “(AnNahl :32)
AlHafidz Ibnu Hajar menukil perkataan Ibnul Jauzi 28: “ ada 4 jawaban tentang masalah ini :
1.     Taufiq (petunjuk) dari Allah supaya seseorang mengamalkan sesuatu adalah merupakan rahmat Allah. Kalau tidak karena rahmat Allah terdahulu, maka tidaklah akan tercapai iman dan ketaatan yang dengan itu bisa dicapai keselamatan.
2.     Bahwasanya seorang hamba (budak) yang beramal untuk Tuannya adalah merupakan hak dari Tuannya. Kalau seandainya Tuan tersebut memberikan ganjaran/balasan, maka itu adalah fadhilah (kelebihan) yang diberikannya.
3.     Terdapat dalam beberapa hadits bahwa masuknya seseorang ke dalam surga adalah karena rahmat Allah, sedangkan perbedaan-perbedaan derajat dalam surga dicapai sesuai  kadar amalan.
4.     Amalan-amalan ketaatan yang dilakukan seorang hamba terjadi pada masa yang singkat (di dunia) sedangkan balasan dengan surga,pen.) adalah kekal. Maka balasan yang kekal untuk sesuatu yang fana (tidak kekal) adalah merupakan suatu fadhilah (kelebihan) bukanlah suatu balasan yang sebanding.
Demikian besarnya rahmat Allah sehingga kita tidak boleh putus asa dari rahmatNya. Allah adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih kepada hambaNya. Namun, jangan sampai kemudian kita terjerumus kepada sikap yang lain ketika memahami hal ini. Jangan sampai kemudian kita menggampangkan untuk berbuat dosa dengan anggapan nanti kita bisa bertaubat dan diampuniNya. Sikap semacam adalah merasa aman dari Makar (adzab) Allah, dan termasuk dosa besar. Sebagaimana putus asa dari rahmat Allah adalah dosa besar, demikian pula merasa aman dari adzab Allah adalah juga dosa besar. Hal ini sesuai dengan hadits :

عَنِ بْنِ مَسْعُوْدٍ أَكْبَرُ اْلكَبَائِرِ اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَاْلأَمْنُ مِنْ مَكْرِ اللهِ وَاْلقُنُوْطُ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ وَاْليَأْسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ (رواه الطبرني و عبد الرزاق )

“Dari Ibnu Mas’ud : (termasuk) dosa yang paling besar adalah Syirik (mensekutukan) Allah, merasa aman dari makar (adzab) Allah, dan putus asa dari rahmat Allah “(H.R AtThobrony dan Abdurrozzaq dan sanad hadits ini shohih sebagaimana dijelaskan oleh AlHaitsaimi dalam Majma’uz Zawaaid)
          Betapa indahnya susunan kalimat-kalimat dalam AlQuran yang Allah susun supaya manusia tidak putus asa dari rahmat Allah sekaligus tidak merasa aman dari adzab Allah. Banyak susunan dalam AlQuran yang jika Allah menyebutkan bahwa Ia adalah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, selanjutnya Ia berikan ancaman bahwa adzabNya sangat pedih. Demikian pula sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam AlQuran :

نَبِّئْ عِبَادِيْ أَنِّي أَنَا اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْم ( 49) وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ اْلعَذَابُ اْلأَلِيْم (50)

“ Khabarkan kepada hamba-hambaKu bahwa Aku adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwasanya adzabKu sangat pedih “ (Q.S Al-Hijr)

إِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ اْلعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْم

“ Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat adzabNya, dan sesungguhnya Ia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “(Q.S AlAn’aam : 165)
 Demikian pula Allah memuji orang-orang yang menyembah dengan memadukan perasaan takut dari adzabNya dan berharap mendapatkan rahmat, pahala, ampunanNya :
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُوْنَ فِي اْلخَيْرَاتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَّرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِيْنَ
“Sesungguhnya mereka dulunya senantiasa bersegera dalam kebaikan dan menyembah Kami dengan perasaan berharap dan takut dan mereka merasa tunduk (takut) kepada Kami”(Q.S Al-Anbiyaa’:21)

Ø   مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
مَالِكِ =  Yang Memiliki
يَوْمِ الدِّيْنِ = Hari Pembalasan
          Dalam ayat ini ada dua bacaan yang diperbolehkan karena sama-sama berasal dari riwayat yang shohih, yaitu boleh dibaca : مَالِكِ , boleh juga dibaca : مَلِِك  , sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau. Jika dibaca : مَلِِك artinya adalah Yang Menguasai/ Merajai. Sedangkan kata : الدِّيْنِ artinya adalah ‘pembalasan’ atau ‘penghitungan/ hisab ’. Sebagaimana makna semacam ini terdapat dalam ayat yang lain :
يَوْمَئِذٍ يُّوَفِّيْهِمُ اللهُ دِيْنَهُمُ الْحَقَّ
Pada hari itu Allah sempurnakan perhitungan/pembalasan bagi mereka secara haq”(Q.S AnNuur : 25)
          Sehingga arti dari ayat ini adalah : Allahlah Yang Memiliki dan Menguasai secara mutlak hari pembalasan (yaumul qiyaamah). Pada hari itu tidak ada lagi yang memiliki kekuasaan kecuali Allah. Sebagaimana dalam hadits disebutkan :

 يَقْبِضُ اللهُ  اْلأَرْضَ وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِيْنِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ أَنَا اْلمَلِك أَيْنَ مُلُوْكُ اْلأَرْضِ أَيْنَ اْلجَبَّارُوْنَ أَيْنَ اْلمُتَكَبِّرُوْنَ

“ (Pada hari kiamat) Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan Tangan KananNya, kemudian berseru : “Akulah Raja. Mana raja-raja di bumi? Mana orang-orang yang sombong? Mana orang-orang yang takabbur? “(H.R AlBukhari-Muslim)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :

اْلمُلْكُ يَوْمَئِذٍ  اْلحَقُّ لِلرَّحْمنِ وَكَانَ يَوْمًا عَلَى اْلكَافِرِيْنَ عَسِيْرًا

“ Kekuasaan pada hari itu hanyalah milik ArRahmaan dan itu adalah hari dimana bagi orang-orang kafir terasa sulit”(Q.S AlFurqoon: 26)
          Pada hari itu tidak ada yang berani berbicara kecuali yang diijinkan Allah, sebagaimana dalam FirmanNya :

يَوْمَ يَقُوْمُ الرُّوْحُ  وَاْلمَلاَئِكَةُ صَفًّا لاَ يَتَكَلَّمُوْنَ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمنُ وَقَالَ صَوَابًا

“ Pada hari di mana berdiri manusia dan para Malaikat bershaf-shaf tidak ada yang berbicara kecuali yang diijinkan ArRahmaan, dan tidaklah berbicara kecuali ucapan yang benar” (Q.S AnNabaa’ : 38)

...وَخَشَعَتِ اْلأَصْوَاتُ لِلرَّحْمنِ فَلاَ تَسْمَعُ إِلاَّ هَمْسًا

“ Dan suara-suara (pada hari itu) tunduk (hening) di hadapan ArRahmaan, tidak ada yang terdengar kecuali suara kaki diletakkan “(Q.S Thoha :108)

»»  Baca Selengkapnya...